Connect with us

Oh! Media

Apabila Ibu Orang-orang Beriman Difitnah

Umum

Apabila Ibu Orang-orang Beriman Difitnah

Firman Allah Taala dalam surah Al-Hujurat ayat 6:

ADVERTISEMENT

Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidikilah (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini –dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya)– sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan. 

Fitnah, suatu yang tidak disukai oleh sesiapa pun jika dirinya menjadi mangsa keadaaan. Terlalu lamanya fitnah ini telah ‘hidup’ di atas dunia ini dan akan terus hidup ke akhir zaman. Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha juga tidak terlepas dari terkena fitnah. Mari kita ikuti kisah mahsyur yang dinamakan ‘Hadith Al-Ifki’..

Dari Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak bermusafir, beliau mengundi di antara isteri-isterinya. Barangsiapa yang keluar undiannya, dialah yang ikut pergi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau mengundi di antara kami pada suatu peperangan dan keluarlah undian anak panahku, sehingga aku pergi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kejadian tersebut setelah diturunkannya ayat tentang hijab. Lalu saya dibawa di sekedupku. Di tengah perjalanan, saya turun hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai dari sebuah peperangan dan beliau pun kembali ke Madinah.

Pada suatu malam saya berada bersama kelompok kaum muslimin. Tatkala mereka tertidur, saya bangun dan berjalan hingga saya mendahului mereka. Setelah saya selesai menunaikan urusan (hajat), saya kembali bergabung dengan kelompok kaum muslimin. Tatkala saya meraba dadaku, ternyata kalungku yang berasal dari Zhafar, Yaman, hilang. Maka saya kembali dan mencari kalungku, pencarian itu membuatku terlambat. Dan sekelompok orang yang membawa sekedupku telah berangkat, mereka berjalan dengan meletakkan sekedupku di atas untaku yang biasa saya naiki. Mereka mengira saya sudah berada di dalamnya. Tatkala itu, isteri-isteri beliau kurus-kurus dan ringan, kerana tidak pernah makan daging. Tetapi, mereka hanya memakan makanan ringan. Sehingga, tidak ada orang yang curiga terhadap beratnya sekedup tersebut ketika mereka berjalan dan mengangkatnya. Lagipun kala itu saya masih kecil.

Akhirnya mereka pun membawa unta-untanya dan berjalan (meneruskan perjalanan). Saya mendapatkan kalung tatkala bala tentera telah berlalu sehingga ketika saya mendatangi tempat duduk mereka, tidak ada seorang pun yang memanggil dan tidak ada pula orang yang menjawab. Lalu saya kembali ke tempat dudukku. Saya berharap ada suatu kaum (dari tentera kaum muslimin) yang menemukanku dan kembali menjemputku. Tatkala saya duduk di tempat dudukku, saya merasa mengantuk dan tertidur. Sedangkan Shafwan bin Mu’atthal Assulami dan orang-orang Dzakwan tinggal di belakang pasukan (memeriksa bila ada yang ketinggalan). Mereka berjalan di awal malam dan di pagi harinya mereka sampai di tempat dudukku. Shafwan bin al Mu’atthal Assulami melihat ada seseorang yang masih tertidur, maka dia mendatangiku dan dia telah mengenaliku tatkala dia melihatku. Yang demikian kerana dia telah melihatku sebelum diwajibkan memakai hijab atasku.

Seketika saya terbangun dan saya mendengar dia beristirja’ (mengucapkan, innalillahi wainna ilaihi raaji’un) tatkala dia mengetahuiku. Saya langsung menutupi wajahku dengan jilbabku. Demi Allah, dia tidak berbicara sepatah kata pun dan saya sama sekali tidak mendengar satu patah kata pun kecuali kata istirja’nya. Akhirnya dia pun menundukkan untanya dan saya pun menaikinya. Lalu dia pergi dan menuntun unta (yang saya naiki) hingga kami berhasil menyusul pasukan kaum muslimin setelah mereka berisitirehat di pantai Azhzhariah. Celakalah orang yang telah berburuk sangka pada urusanku. Ketika itu, orang yang paling terlihat kesombongannya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.

Akhirnya, saya pun sampai di Madinah. Setelah kepulangan kami, saya mendadak sakit hampir selama satu bulan, sementara orang-orang terus membicarakan tuduhan (yang ditujukan kepadaku), padahal aku tidak sedikit pun merasa melakukan hal itu. Sehingga, beliau pun meragukan sakitku. Saya tidak lagi nampak kelembutan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang pernah saya lihat darinya sebelumnya. Tatkala saya sakit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk dan memberi salam seraya bertanya: “Bagaimana denganmu?” Seolah-olah tatkala itu beliau meragukanku, sementara saya tidak merasa telah melakukan keburukan tersebut (dituduh curang).

Setelah saya merasa mulai sembuh, saya keluar bersama Ummu Misthah ke tempat tertutup untuk buang air, kami tidak pernah keluar kecuali di malam hari hingga malam lagi. Tempat tertutup tersebut dibuat berhampiran rumah-rumah kami. Urusan kami seperti para pendahulu orang-orang Arab, kami biasa membuat tempat tertutup untuk buang air di rumah. Kemudian saya dan Ummu Misthah kembali ke rumahku setelah urusan kami selesai. Tatkala itu, Ummu Misthah terpeleset kerana terpijak atau terjerat kainnya. Ketika itu dia berkata: “Celaka Misthah.” Saya bertanya kepadanya: “Alangkah buruknya apa yang telah kamu katakan, engkau mencela orang yang telah ikut perang Badar.” Dia berkata: “Ya, apakah kamu tidak mendengar apa yang dia katakan (tuduhan palsu)?” Saya berkata: “Apa yang telah dia katakan?” Maka dia mengkhabarkan kepadaku dengan perkataan orang-orang yang menuduhku.

Tatkala itu saya bertambah sakit dan ketika saya kembali ke rumah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku dan mengucapkan salam. Kemudian beliau bersabda: “Bagaimana keadaanmu?” Saya berkata: “Apakah engkau mengizinkanku untuk mendatangi kedua orang tuaku?” Ketika itu saya ingin meyakinkan khabar tersebut dari mereka berdua (ibu bapa). Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengizinkanku. Lalu saya mendatangi kedua orang tuaku, saya bertanya kepada ibuku: “Wahai ibuku, apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang?” Ibu menjawab: “Wahai anakku, semoga urusanmu dimudahkan, demi Allah, tidaklah seorang wanita yang jelas-jelas dicintai suaminya sedang dia mempunyai madu (suami lainnya), kecuali mereka (isteri-isteri suami lainnya) akan memperbanyak tuduhan atas diri wanita tersebut.” Aisyah berkata: “Maha Suci Allah, apakah ini yang dibicarakan oleh orang-orang?” Pada malam itu juga aku menangis, hingga di pagi harinya air mataku tidak lagi boleh mengalir kerana habis dan saya tidak bercelak ketika tidur.

Ketika di pagi harinya, saya menangis. Dan ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Ali bin Abi Talib dan Usamah bin Zaid untuk mengajak keduanya bermusyawarah dalam rangka memisahkan isterinya selama wahyu belum turun. Adapun Usamah bin Zaid, dia menunjuki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan apa yang dia ketahui akan jauhnya isteri beliau dari perbuatan tersebut dan dengan apa yang dia ketahui tentang kecintaannya kepada beliau. Usamah berkata: ‘Wahai Rasulullah! Mereka adalah isteri-isterimu, kami tidak mengetahui kecuali kebaikan.’ Adapun Ali bin Abi Talib, dia berkata: “Allah ‘Azza Wajalla tidak akan memberi kesempitan kepadamu, bukankah wanita selainnya masih banyak juga. Dan sungguh, jika engkau bertanya kepada budakmu (Barirah), pasti dia akan jujur’.”

Aisyah berkata: “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Barirah, beliau bertanya: “Wahai Barirah! Apakah engkau melihat ada sesuatu yang meragukan bagimu dari diri Aisyah?” Barirah menjawab: “Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak melihat pada dirinya suatu yang kurang selain tak lebih saat dia masih kecil umurnya, dia ketiduran dari menunggu adunan tepung di keluarganya lantas ada binatang jinak yang memakan tepung itu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan meminta pengakuan dari seorang lelaki yang bernama Abdullah bin Ubai bin Salul.

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atas mimbar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai seluruh kaum muslimin, siapakah yang mahu memberiku pengakuan dari seorang lelaki (Abdullah bin Ubai bin Salul) yang telah menyakiti keluargaku. Sungguh demi Allah, saya tidak mengetahui sesuatu pun dari keluargaku kecuali kebaikan. Mereka telah menceritakan mengenai seorang lelaki (Shafwan bin Mu’atthal Assulami) yang saya tidak mengetahui dari dirinya juga kecuali kebaikan. Dan tidaklah ada orang yang menemui isteriku kecuali dia bersamaku.” Sa’ad bin Mu’adz al Anshari berkata: “Wahai Rasulullah! aku akan menolongmu darinya. Bila ada orang dari Bani Aus akan dipenggal lehernya, sekalipun dari saudara kami dari Bani Khazraj, bila engkau memerintahkan kami maka kami akan melaksanakan perintahmu.”

Seketika itu juga Sa’ad bin Ubadah (dia adalah pemimpin dari Bani Khazraj, dia adalah seorang lelaki yang soleh, hanya saja dia masih memiliki sikap fanatik) berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz: “Demi Allah, engkau tidak akan boleh membunuhnya dan tidak akan mampu untuk membunuhnya.” Maka berdirilah Usaid bin Hudhair dan dia adalah anak saudara Sa’ad bin Mu’adz, dia berkata kepada Sa’ad bin Ubadah: “Engkau bohong, sungguh kami akan membunuhnya kerana kamu seorang yang munafik yang memperdebatkan orang-orang munafik.” Keadaan pun semakin panas antara Bani Aus dan Khazraj, hingga mereka ingin saling bunuh membunuh sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih tetap berdiri di atas mimbar. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menenangkan mereka, hingga mereka terdiam dan beliau pun terdiam.

Aisyah berkata: “Pada hari itu, saya pun menangis hingga air mataku habis dan saya tidak memakai celak tatkala tidur. Malam berikutnya, saya masih menangis hingga air mataku habis dan saya tidak memakai celak ketika tidur. Kedua orang tuaku mengira tangisanku akan dapat membelah hatiku. Lalu keduanya duduk di sisiku sementara saya masih terus menangis. Ketika itu, ada seorang wanita Ansar yang meminta izin kepadaku untuk menemuiku, saya pun mengizinkannya. Dia pun duduk dan ikut menangis bersamaku. Tatkala kami dalam keadaan seperti itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemui kami, beliau mengucapkan salam lantas beliau duduk. Beliau tidak pernah duduk di sisiku selama satu bulan, sejak wahyu tidak diturunkan kepadanya mengenai urusanku.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersaksi, seraya mengucapkan salam sambil duduk. Beliau bersabda: “Amma ba’d, wahai Aisyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku berita begini dan begini, sungguh jika engkau terlepas dari hal itu kerana tidak melakukannya, semoga Allah Azza Wajalla menjauhkanmu. Jika kamu melakukan dosa tersebut, minta ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Kerana, seorang hamba yang mengakui dosanya kemudian bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya.” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai berkata, air mataku semakin deras mengalir hingga tidak terasa lagi titisan air mata tersebut. Saya berkata kepada ayahku: “Jawablah apa yang telah dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai diriku.” Ayahku berkata: “Saya tidak tahu, demi Allah, saya tidak akan berbicara kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lalu saya berkata kepada ibuku: “Jawablah apa yang telah dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai diriku!” Ibuku berkata: “Demi Allah, saya tidak tahu apa yang harus saya katakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Aisyah berkata: “Saya adalah seorang gadis yang masih kecil usianya, saya tidak banyak membaca Al-Quran. Demi Allah, sungguh saya mengetahui engkau telah mendengar hal ini hingga engkau merasa mantap dan percaya terhadap hal itu. Dan bila saya bicara kepada kalian, ‘Sesungguhnya aku jauh dari perbuatan tersebut dan Allah Azza Wajalla Maha Mengetahui bila saya jauh dari perbuatan tersebut, maka kalian juga tidak akan percaya terhadap hal itu. Jika saya mengaku kepada kalian dengan suatu perkara, sedang Allah Azza Wajalla Maha Mengetahui bahawa saya jauh dari perbuatan tersebut, kalian pasti akan mempercayaiku. Demi Allah, sungguh tidak ada perkataan antara diriku dengan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf: Sabar itu adalah baik dan Allah adalah tempat meminta pertolongan terhadap apa yang kalian tuduhkan (Yusuf: 18)’.”

Kemudian saya mengubah posisiku, saya berbaring di atas ranjangku. Demi Allah, ketika itu saya mengetahui bahawa saya jauh dari perbuatan tersebut, dan Allah Azza Wajalla akan menjauhkanku kerana saya jauh dari perbuatan tersebut. Akan tetapi, demi Allah, saya tidak mengira akan turun wahyu pada perkaraku. Dan sungguh perkaraku jauh lebih remeh daripada Allah Azza Wajalla berfirman padaku dengan wahyu yang dibacakan. Harapan saya saat itu hanyalah berharap supaya pada mimpinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diperlihatkan bahawa Allah Azza Wajalla menjauhkan diriku dari perbuatan tersebut.

Demi Allah, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari majlisnya, dan tidak ada seorang pun yang keluar dari penghuni rumah tersebut hingga Allah Azza Wajalla menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Sehingga, keadaan beliau berubah sebagaimana perubahan yang biasa terjadi tatkala wahyu turun, peluh beliau terus keluar padahal hari itu adalah musim dingin. Hal itu kerana begitu beratnya firman yang telah diturunkan kepadanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat khabar gembira tersebut, beliau tertawa dan kalimah yang pertama kali beliau sabdakan ketika itu adalah: “Khabar gembira wahai Aisyah! Allah Azza Wajalla telah menjauhkanmu dari perbuatan tersebut.” Kemudian ibuku berkata kepadaku: “Berdirilah kepadanya.” Aku berkata: “Demi Allah, aku tidak akan berdiri kepadanya dan aku tidak akan memuji kecuali kepada Allah Azza Wajalla, Dia lah yang telah menurunkan wahyu yang menjelaskan akan jauhnya diriku. Allah Azza Wajalla telah menurunkan ayat yang ertinya: ‘Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu’ juga hingga sepuluh ayat (An-Nur: 1-11). Allah Azza Wajalla telah menurunkan beberapa ayat yang menjelaskan akan jauhnya diriku dari perbuatan tersebut.

Abu Bakar (ayahnya) terbiasa berinfak kepada Misthah (salah seorang yang menuduh Aisyah), kerana dia adalah kerabatnya dan dia adalah seorang yang fakir. Ayahku berkata: “Demi Allah, aku tidak akan pernah memberi bantuan untuknya selamanya setelah dia menuduh Aisyah.” Lalu Allah Azza Wajalla menurunkan wahyu, yang ertinya: ‘Dan janganlah orang-orang yang mempunyai -sampai kepada firman-Nya- apakah kamu tidak ingin bahawa Allah mengampunimu (An-Nur: 22)’. Maka Abu Bakar berkata: “Demi Allah, saya lebih senang bila Allah mengampuniku.” Kemudian ayahku kembali memberi bantuan kepada Misthah seperti biasa dia memberi bantuan kepadanya. Abu Bakar berkata: “Sungguh, aku tidak akan menghentikan bantuan selama-lamanya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Zainab binti Jahsy, isteri beliau mengenai perkara yang terjadi padaku: “Apa yang kamu ketahui, apa yang kamu lihat, atau berita apa yang telah sampai kepadamu?” Dia menjawab; “Wahai Rasulullah! Saya selalu menjaga pendengaran dan penglihatanku, dan saya tidak mengetahui kecuali kebaikan.” Aisyah berkata: “Padahal Zainab adalah isteri beliau yang dikenal selalu membanggakan diri di hadapanku.”

(Sahih Bukhari, no. 4381, Sahih Muslim, no. 4974)

Comments

Lagi dalam kategori Umum

Ke Atas